Rabu, 13 Juli 2011

Cerita Persalinan dan Kehamilanku, apa ceritamu?


SUAMIKU, PENDAMPING PERSALINANKU YANG KEREN
 *Tulisan berikut alhamdulillah masuk dalam antologi yang sedang dalam proses terbit, mohon doanya kawan :)

  “Dek, mas lemas ni..mas ga usah ikut masuk ke dalam ya...”kata suamiku saat kami duduk di deretan kursi menunggu panggilan USG kehamilan. Kakinya ia selonjorkan dan mukanya agak pucat.

“Aah, ayo dong say..masak nanti adik masuk ke ruang periksa tanpa suami...masuk ya..ya...” kataku pada suami yang akan menjadi ayah dari janin yang ada di rahimku.

“Duh, tapi ga kuat...mas mah kalau diajak ke tempat medis gini mesti lemas..”kata suami.

“Ayolah..ga apa-apa kok, yang diperiksa kan adik bukan mas..lagipula nanti mas bisa melihat calon anak kita...katanya mau dampingi adik saat melahirkan nanti, nah ini latihannya sayang” kataku lebih meyakinkan.


“Hmmh...baiklah, tapi mas jalan-jalan bentar ya biar fresh sebelum mendampingimu..”

Aku pun mengangguk.

Waduh, baru kali ini aku melihat suamiku benar-benar tak berdaya saat berada di Klinik ( Ini kali pertama aku ANC atau periksa kehamilan dengan USG). Padahal suami sadar betul bahwa istrinya ini bidan yang bergelut dengan dunia medis, bahkan sejak sebelum kuputuskan resign dari kerjaku di rumah sakit suamiku tak masalah saat mengantarku ke rumah sakit. Olala..ternyata kali ini ia benar-benar butuh support. Bukan istrinya yang hamil saja ternyata yang butuh dukungan, suami pun juga perlu dukungan moril.


“Bu Novi...”

Namaku telah dipanggil. Langsung kugamit lengan suamiku yang kini pasrah mengikutiku masuk ke ruang periksa.

“Bagus ini bu bayinya...geraknya aktif..jantungnya juga kuat, dan sepertinya jenis kelaminnya laki-laki...”kata sang dokter.

Kulirik suamiku yang berada di sampingku. Serius sekali ia memperhatikan penjelasan dokter. Namun bisa kutangkap raut ketakjubannya pada layar USG yang menampilkan calon bayi kami. Alhamdulillah semoga ini bisa jadi terapi baginya, batinku.

Ya, suamiku sedang dalam tahap proses terapi agar ia kuat menjadi pendamping persalinanku. Lah, kalau suamiku takut ga jadi dong acara pendampingannya hehe...

Sering aku terharu saat menolong persalinan ibu-ibu dengan ditemani suaminya yang sabar dan memberi dorongan bahkan berpartisipasi aktif dengan ikut membantu posisi yang enak saat melahirkan (dengan ‘memangku’ istri), memberinya minum, bahkan dalam beberapa kasus ada suami yang mau memberi rangsang pada (maaf) puting payudara istri agar membantu kelancaran proses persalinan karena merangsang hormon oksitosin, meski tak jarang ada juga suami yang pingsan saat melihat darah istrinya mulai banyak yang merembes saat sang bayi akan lahir.

Dan aku ingin suamiku seperti suami-suami yang peduli saat sang istri dalam perjuangan bertaruh nyawa tersebut, terlebih agar ia mau mengaji saat aku merasai his atau kontraksi nanti dan menyemangatiku.

Sering aku bercerita tentang kondisi saat aku kerja menjadi bidan dulu, bercerita bagaimana rasanya menolong ibu melahirkan, atau cerita tentang kehamilan itu sendiri dari kaca mata medis. Namun sering menemui kegagalan karena suami akan memintaku bercerita karena ia tak sanggup membayangkan peristiwa yang berdarah-darah itu.

Aku tak berhenti di situ, sebab keinginanku untuk didampingi suami begitu menggebu dan telah kusampaikan keinginanku jauh sebelum kami periksa USG yang pertama kali pada suami, ia pun merespon dan menyetujui bahwa ia akan mendampingi persalinanku.

Aku ajak ia bicara dan kugali alasannya kenapa ia takut tentang cerita perumah sakitan. Ia pun akhirnya mengaku..

“Mas, takut kehilanganmu, dik...”

Plass...rasanya aku seperti diguyur air es. Dingin tapi menenangkan hati. Senang karena ia mengkhawatirkanku.

Baiklah, aku pun meyakinkannya bahwa semua insyaAllah akan baik-baik saja dan aku butuh dukungannya sejak hamil hingga nanti tiba detik-detik menegangkan itu. Hanya saja memang suamiku butuh proses untuk itu.

Alhamdulillah periksa USG yang kedua sudah memperlihatkan bahwa suamiku mulai senang dengan aktivitasnya menemaniku tanpa rasa takut. Di perjalanan pulang pun ia bercerita tentang bahagianya ia yang akan menjadi ayah.

Namun, memasuki bulan taksiran persalinan malah aku yang agak grogi. Aku merasa tak sanggup melahirkan. Kunyatakan perasaanku tersebut pada suami. Eh, malah ia yang terus memompa semangatku karena inilah jihad tertinggi seorang perempuan, ia pun berkali-kali meyakinkanku bahwa ia akan setia dan sabar mendampingi persalinanku. “Gantian ni yee..” kata suamiku menggodaku.

“Bidan juga manusia gitu loh...”kataku tak mau kalah.

Kurasakan suamiku jadi makin perhatian, selalu mengingatkan minum vitamin, hafal jadwal periksa, mengajak jalan-jalan pagi bahkan tak lupa mengajakku sholat tahajud. Alhamdulillah..melihat suamiku siap menjadi pendamping persalinanku, maka aku pun juga harus siap, kuyakinkan diriku.

Hingga tibalah detik-detik aku memasuki ruang VK (bersalin) sebuah praktik bidan swasta saat subuh menyapa. Mungkin karena begadang semalaman, karena kontraksi datang tiap lima belas menit aku menjadi kecapekan dan lebih sensitif. Aku sama sekali tak mau ditinggal oleh suami meski ada ibu yang juga hadir mendampingiku (bawaan bayi kali ya?), hingga akhirnya suami pun ijin tak masuk kerja, plus suami tak tega melihatku menahan kontraksi.

Waktu terus bergulir namun terasa lama sekali bagiku. Hingga akhirnya sampai juga diriku pada pembukaan lengkap dimana aku akan melakukan perjuangan mengelurkan bayi dalam rahimku.

Sekuat tenaga aku mengedan namun ternyata tak kunjung keluar juga sang bayi. Suami dan ibuku terus memotivasi aku agar kuat dan tak boleh menyerah. Hingga aku sempat berkata bahwa aku tak kuat, namun suami dengan sabar membimbingku berdoa sambil menggenggam jemariku.

Di tengah perjuangan itu, iqomah sholat jum’at berkumandang. Suamiku meminta ijin agar bisa sholat Jum’at dulu di masjid dekat klinik..dengan berat hati (maunya kan didampingi terus) kuijinkan ia pergi dan minta agar didoakan.

Eh, malah pas suami sholat Jumat sang jagoan malah lahir. Alhamdulillah, ternyata dedek bayi malah ga mau ditemani ayahnya hehe...Saat suamiku pulang, ia langsung adzan dan iqomah pada bayi kami.

Alhamdulillah lega rasanya perjuangan telah terlewati, kini saatnya aku diheacting (dijahit0 akibat robekan di jalan lahir. Bayi kami dirawat dan ditemani ibuku setelah tadi IMD (Inisasi Menyusui Dini), sedang aku ditemani suamiku yang mencium keningku dan memberikan asupan juga memperlihatkan keberaniannya menggendong bayi kami hingga saat dijahit tak terasa sakit sama sekali (selain juga karena bius) serta bercerita tentang indahnya hidup kami dengan hadirnya buah cinta kami.

“Eh, dah ga takut darah lagi ni ceritanya...?” tanyaku pada suami yang duduk di sampingku.

“Ya enggaklah, kan demi istri n nanda..”katanya sambil menepuk dada. Uhuk...

Kami pun tersenyum atas anugerah terindahNya.

Ngawi, 15 April 2011: 02.45
Solusi dari permasalahan tersebut di atas adalah:
1.      Komunikasi yang baik dan efektif antara suami-istri
2.      Terapi yang tepat untuk suami J misalnya terapi diajak sering-sering ke klinik, diajak cerita tentang hal yang ingin kita upayakan



1 komentar: